“ َﻝَﺄَﺳ ﻰَﺳﻮُﻣ ﺎَﻣ :ُﻪَّﺑَﺭ ﻰَﻧْﺩَﺃ ِﻞْﻫَﺃ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ
؟ًﺔَﻟِﺰْﻨَﻣ :َﻝﺎَﻗ َﻮُﻫ ٌﻞُﺟَﺭ ُﺀﻰِﺠَﻳ ﺎَﻣ َﺪْﻌَﺑ َﻞِﺧْﺩُﺃ
ُﻞْﻫَﺃ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ِﻞُﺧْﺩﺍ :ُﻪَﻟ ُﻝﺎَﻘُﻴَﻓ .َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ
:ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ ِّﺏَﺭ ْﻯَﺃ َﻒْﻴَﻛ ْﺪَﻗَﻭ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻝَﺰَﻧ
ْﻢُﻬَﻟِﺯﺎَﻨَﻣ ﺍﻭُﺬَﺧَﺃَﻭ :ُﻪَﻟ ُﻝﺎَﻘُﻴَﻓ ؟ْﻢِﻬِﺗﺍَﺬَﺧَﺃ
ْﻥَﺃ ﻰَﺿْﺮَﺗَﺃ َﻥﻮُﻜَﻳ ُﻞْﺜِﻣ َﻚَﻟ ٍﻚِﻠَﻣ ِﻚْﻠُﻣ ْﻦِﻣ
ِﻙﻮُﻠُﻣ :ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ ؟ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ُﺖﻴِﺿَﺭ .ِّﺏَﺭ :ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ
َﻚَﻟ ُﻪُﻠْﺜِﻣَﻭ َﻚِﻟَﺫ .ُﻪُﻠْﺜِﻣَﻭ ُﻪُﻠْﺜِﻣَﻭ ُﻪُﻠْﺜِﻣَﻭ َﻝﺎَﻘَﻓ
ﻰِﻓ :ِﺔَﺴِﻣﺎَﺨْﻟﺍ ُﺖﻴِﺿَﺭ .ِّﺏَﺭ ﺍَﺬَﻫ :ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ
َﻚَﻟ ُﺓَﺮَﺸَﻋَﻭ ﺎَﻣ َﻚَﻟَﻭ ِﻪِﻟﺎَﺜْﻣَﺃ َﻚُﺴْﻔَﻧ ْﺖَﻬَﺘْﺷﺍ
ْﺕَّﺬَﻟَﻭ .َﻚُﻨْﻴَﻋ :ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ ُﺖﻴِﺿَﺭ ِّﺏَﺭ …”.
“(Suatu saat) Nabi Musa bertanya
kepada Allah, ”Bagaimanakah
keadaan penghuni surga yang
paling rendah derajatnya?”. Allah
menjawab, “Seorang yang datang
(ke surga) setelah seluruh
penghuni surga dimasukkan ke
dalamnya, lantas dikatakan
padanya, “Masuklah ke surga!”.
“Bagaimana mungkin aku masuk ke
dalamnya wahai Rabbi, padahal
seluruh penghuni surga telah
menempati tempatnya masing-
masing dan mendapatkan bagian
mereka” jawabnya. Allah
berfirman, “Relakah engkau jika
diberi kekayaan seperti raja-raja
di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi”
jawabnya. Allah kembali berfirman,
“Engkau akan Kukaruniai kekayaan
seperti itu, ditambah seperti itu
lagi, ditambah seperti itu,
ditambah seperti itu, ditambah
seperti itu dan ditambah seperti
itu lagi”. Kelima kalinya orang itu
menyahut, “Aku rela dengan itu
wahai Rabbi”. Allah kembali
berfirman, “Itulah bagianmu
ditambah sepuluh kali lipat darinya,
plus semua yang engkau mauim
serta apa yang indah di pandangan
matamu”. Orang tadi berkata,
“Aku rela wahai Rabbi”…”. HR.
Muslim (I/176 no 312) dari al-
Mughîrah bin Syu’bah
radhiyallahu’anhu.
Seorang muslim yang mendengar
hadits di atas atau yang semisal,
ia akan semakin merindukan untuk
meraih kemenangan masuk ke
surga Allah kelak. Bagaimana
tidak? Sedangkan orang yang
paling rendah derajatnya di surga
saja sedemikian mewah kenikmatan
yang akan didapatkan di surga,
lantas bagaimana dengan derajat
yang di atasnya? Bagaimana pula
dengan orang yang menempati
derajat tertinggi di surga? Pendek
kata mereka akan mendapatkan
kenikmatan yang disebutkan oleh
Allah dalam al-Qur’an,
“ ُﻢَﻠْﻌَﺗ ﺎَﻠَﻓ ٌﺲْﻔَﻧ َﻲِﻔْﺧُﺃ ﺎَّﻣ ﻦِّﻣ ﻢُﻬَﻟ ِﺓَّﺮُﻗ
ﺀﺍَﺰَﺟ ٍﻦُﻴْﻋَﺃ ﺎَﻤِﺑ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ َﻥﻮُﻠَﻤْﻌَﻳ ”.
Artinya: “Seseorang tidak
mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka; yaitu
(bermacam-macam kenikmatan)
yang menyedapkan pandangan
mata, sebagai balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan”.
QS. As-Sajdah: 17.
Namun anehnya ternyata masih
banyak di antara kaum muslimin
yang tidak ingin masuk surga,
sebagaimana telah disinggung oleh
Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam dalam
haditsnya,
“ ُّﻞُﻛ ﻲِﺘَّﻣُﺃ َﻥﻮُﻠُﺧْﺪَﻳ ﺎَّﻟِﺇ َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ْﻦَﻣ ”ﻰَﺑَﺃ
:ﺍﻮُﻟﺎَﻗ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ“ ْﻦَﻣَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ”؟ﻰَﺑْﺄَﻳ :َﻝﺎَﻗ
ْﻦَﻣ“ َﻞَﺧَﺩ ﻲِﻨَﻋﺎَﻃَﺃ ْﻦَﻣَﻭ ،َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ﻲِﻧﺎَﺼَﻋ
ْﺪَﻘَﻓ ﻰَﺑَﺃ ”.
“Seluruh umatku akan masuk
surga kecuali yang enggan”. Para
sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, siapakah yang enggan
(untuk masuk surga)?”. Beliau
menjawab, “Barang siapa yang
taat padaku maka ia akan masuk
surga, dan barang siapa yang tidak
mentaatiku berarti ia telah enggan
(untuk masuk surga)”. HR.
Bukhari dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu.
Jadi tidak setiap yang
mendambakan surga, kelak akan
mendapatkannya; karena surga
memiliki kunci untuk memasukinya;
barang siapa yang berhasil
meraihnya di dunia; niscaya ia akan
merasakan manisnya kenikmatan
surga kelak di akhirat, sebaliknya
barang siapa yang gagal
merengkuhnya; maka ia akan
tenggelam dalam kesengsaraan
siksaan neraka.
Kunci tersebut ada empat, yang
secara ringkas adalah:
1. Ilmu.
2. Amal.
3. Dakwah.
4. Sabar.
Empat kunci ini telah Allah
subhanahu wa ta’ala isyaratkan
dalam surat al-’Ashr:
“ ِﺮْﺼَﻌْﻟﺍَﻭ َّﻥِﺇ . َﻥﺎَﺴﻧِﺈْﻟﺍ ٍﺮْﺴُﺧ ﻲِﻔَﻟ ﺎَّﻟِﺇ .
َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ﺍﻮُﻠِﻤَﻋَﻭ ﺍْﻮَﺻﺍَﻮَﺗَﻭ ِﺕﺎَﺤِﻟﺎَّﺼﻟﺍ
ِّﻖَﺤْﻟﺎِﺑ ِﺮْﺒَّﺼﻟﺎِﺑ ﺍْﻮَﺻﺍَﻮَﺗَﻭ ”.
Artinya: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia benar-
benar dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang (1) beriman[1] ,
(2) beramal shalih, (3) saling
nasehat menasehati dalam
kebaikan dan (4) saling nasehat
menasehati dalam kesabaran”. QS.
Al-’Ashr: 1-3.
Sedemikian agungnya surat ini,
sampai-sampai Imam Syafi’i
rahimahullah berkata, “Seandainya
Allah tidak menurunkan hujjah
atas para hamba-Nya melainkan
hanya surat ini; niscaya itu telah
cukup” [2] .
Berikut penjabaran ringkas,
masing-masing dari empat kunci
tersebut di atas:
1. Kunci Pertama: Ilmu:
Yang dimaksud dengan ilmu di sini
adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang
berlandaskan al-Qur’an dan Hadits
dengan pemahaman para sahabat
Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang
insan untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban agama,
wajib hukumnya untuk dicari oleh
setiap muslim dan muslimah,
sebagaimana ditegaskan oleh
Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam
dalam sabdanya,
“ ُﺐَﻠَﻃ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ٌﺔَﻀﻳِﺮَﻓ ﻰَﻠَﻋ ٍﻢِﻠْﺴُﻣ ِّﻞُﻛ ”
.
“Mencari ilmu hukumnya wajib atas
setiap muslim”. HR. Ibnu Majah
dari Anas bin Mâlik ﻁ, dan
dinyatakan sahih oleh Syaikh al-
Albâni dalam tahqiqnya atas
Misykâh al-Mashâbîh.
Di antara beragam disiplin mata
ilmu agama, yang seharusnya
mendapatkan prioritas pertama
dan utama untuk dipelajari dan
didalami terlebih dahulu oleh setiap
muslim adalah: ilmu tauhid. Karena
itulah pondasi Islam dan inti
dakwah seluruh rasul dan nabi.
Allah ta’ala berfirman,
“ ﺎَﻨْﺜَﻌَﺑ ْﺪَﻘَﻟَﻭ ﻲِﻓ ِّﻞُﻛ ًﻻﻮُﺳَّﺭ ٍﺔَّﻣُﺃ ْﺍﻭُﺪُﺒْﻋﺍ ِﻥَﺃ
َﻪّﻠﻟﺍ ْﺍﻮُﺒِﻨَﺘْﺟﺍَﻭ َﺕﻮُﻏﺎَّﻄﻟﺍ ”.
Artinya: “Dan telah Kami utus
seorang rasul di setiap umat
(untuk menyerukan) sembahlah
Allah semata dan jauhilah
thaghut”. QS. An-Nahl: 36.
2. Kunci Kedua: Amal:
‘Perjalanan suci’ seorang hamba
setelah memiliki ilmu belum usai,
namun masih ada ‘fase sakral’
yang menantinya; yaitu
mengamalkan ilmu yang telah ia
miliki tersebut. Ilmu hanyalah
sarana yang mengantarkan kepada
tujuan utama yaitu amal.
Demikianlah urutan yang ideal
antara dua hal ini; ilmu dan amal.
Sebelum seorang beramal ia harus
memiliki ilmu tentang amalan yang
akan ia kerjakan, begitupula jika
kita telah memiliki ilmu, kita harus
mengamalkan ilmu tersebut.
Seorang yang memiliki ilmu namun
tidak mengamalkannya akan dicap
menyerupai orang-orang Yahudi,
dan mereka merupakan golongan
yang dimurkai oleh Allah ta’ala,
sebaliknya orang-orang yang
beramal namun tidak berlandaskan
ilmu, mereka akan dicap
menyerupai orang-orang Nasrani,
dan merupakan golongan yang
tersesat. Dua golongan ini Allah
singgung dalam ayat terakhir
surat al-Fatihah:
“ ﺎَﻧِﺪﻫﺍ َﻢﻴِﻘَﺘﺴُﻤﻟﺍ َﻁﺍَﺮِّﺼﻟﺍ . َﻁﺍَﺮِﺻ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ
َﺖﻤَﻌﻧَﺃ ْﻢِﻬﻴَﻠَﻋ ِﺏﻮُﻀﻐَﻤﻟﺍ ِﺮﻴَﻏ ْﻢِﻬﻴَﻠَﻋ َﻻَﻭ
َﻦﻴِّﻟﺎَّﻀﻟﺍ”.
Artinya: “Tunjukkanlah pada kami
jalan yang lurus. Yaitu jalan
golongan yang engkau karuniai
kenikmatan atas mereka, bukan
(jalannya) golongan yang dimurkai
ataupun golongan yang tersesat“.
QS. Al-Fatihah: 6-7.
3. Kunci Ketiga: Dakwah:
Setelah seorang hamba membekali
dirinya dengan ilmu dan amal, dia
memiliki kewajiban untuk ‘melihat’
kanan dan kirinya, peduli terhadap
lingkungan sekitarnya. Kepedulian
itu ia apresiasikan dengan bentuk
‘menularkan’ dan mendakwahkan
ilmu yang telah ia raih dan ia
amalkan kepada orang lain.
Inilah fase ketiga yang
seharusnya dititi oleh seorang
muslim, setelah ia melewati dua
fase di atas. Dia berusaha untuk
mengajarkan ilmu yang ia miliki
kepada orang lain, terutama
keluarganya terlebih dahulu, dalam
rangka meneladani metode dakwah
Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallamyang
Allah ceritakan dalam firman-Nya,
“ ْﺭِﺬﻧَﺃَﻭ َﻚَﺗَﺮﻴِﺸَﻋ َﻦﻴِﺑَﺮْﻗَﺄْﻟﺍ ”.
Artinya: “Dan berilah peringatan
(terlebih dahulu) kepada keluarga
terdekatmu”. QS. Asy-Syu’arâ’:
214.
Tidak sepantasnya seorang da’i
menyibukkan dirinya untuk
mendakwahi orang lain di mana-
mana lalu ‘menterlantarkan’
keluarganya sendiri; sebab sebelum
ia ‘mengurusi’ orang lain, ia
memiliki kewajiban untuk
‘mengurusi’ keluarganya terlebih
dahulu, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allahta’ala dalam
firman-Nya,
“ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ﺍﻮُﻗ ْﻢُﻜَﺴُﻔﻧَﺃ
ْﻢُﻜﻴِﻠْﻫَﺃَﻭ ًﺍﺭﺎَﻧ ”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman jagalah diri kalian dan
keluarga kalian dari api
neraka”.QS. At-Tahrîm: 6.
Dalam berdakwah terhadap
keluarga maupun kepada orang
lain, kita dituntut untuk
senantiasa mengedepankan sikap
hikmah, dalam rangka
mengamalkan firman Allah ta’ala,
“ ﻰِﻟِﺇ ُﻉْﺩﺍ ِﻞﻴِﺒَﺳ َﻚِّﺑَﺭ ِﺔَﻤْﻜِﺤْﻟﺎِﺑ ِﺔَﻈِﻋْﻮَﻤْﻟﺍَﻭ
ِﺔَﻨَﺴَﺤْﻟﺍ ﻢُﻬْﻟِﺩﺎَﺟَﻭ ﻲِﺘَّﻟﺎِﺑ َﻲِﻫ ُﻦَﺴْﺣَﺃ ”.
Artinya: “Serulah (manusia)
kepada jalan Rabbmu dengan
hikmah dan pengajaran yang baik,
serta berdebatlah dengan mereka
dengan jalan yang baik”. QS. An-
Nahl: 125.
Inilah kunci ketiga yang akan
mengantarkan seorang hamba ke
surga. Namun seseorang tidak
dibenarkan untuk langsung
meloncat ke fase ketiga ini (yakni
dakwah) tanpa melalui dua fase
sebelumnya (yakni ilmu dan amal);
karena jika demikian halnya ia akan
menjadi seorang yang sesat dan
menyesatkan ataupun menjadi
seorang yang amat dibenci oleh
Allah ta’ala.
Mereka yang berdakwah tanpa
ilmu, Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam sifati
dalam sabdanya sebagai orang
yang sesat dan menyesatkan,
“ َّﻥِﺇ َﻪَّﻠﻟﺍ ُﺾِﺒْﻘَﻳ ﺎَﻟ ﺎًﻋﺍَﺰِﺘْﻧﺍ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ُﻪُﻋِﺰَﺘْﻨَﻳ ْﻦِﻣ
،ِﺩﺎَﺒِﻌْﻟﺍ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ُﺾِﺒْﻘَﻳ ِﺾْﺒَﻘِﺑ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ،ِﺀﺎَﻤَﻠُﻌْﻟﺍ
ﺍَﺫِﺇ ﻰَّﺘَﺣ ْﻢَﻟ ِﻖْﺒُﻳ ؛ﺎًﻤِﻟﺎَﻋ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺬَﺨَّﺗﺍ ﺎًﺳﻭُﺀُﺭ
،ﺎًﻟﺎَّﻬُﺟ ﺍﻮُﻠِﺌُﺴَﻓ ِﺮْﻴَﻐِﺑ ﺍْﻮَﺘْﻓَﺄَﻓ ﺍﻮُّﻠَﻀَﻓ ٍﻢْﻠِﻋ
ﺍﻮُّﻠَﺿَﺃَﻭ”
.
“Sesungguhnya Allah tidak
melenyapkan ilmu (dari muka bumi)
dengan cara mencabut ilmu
tersebut dari para hamba-Nya,
namun Allah akan melenyapkan ilmu
(dari muka bumi) dengan
meninggalnya para ulama; hingga
jika tidak tersisa seorang
ulamapun, para manusia
menjadikan orang-orang yang
bodoh sebagai panutan, mereka
menjadi rujukan lalu berfatwa
tanpa ilmu, sehingga sesat dan
menyesatkan“. HR. Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin
‘Amrradhiyallahu’anhuma,
Kunci masuk surga
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar